Kamis, 29 Maret 2012


SKRIPSI
PERSAMAAN DAN PERBEDAAN FEMINISME DALAM NOVEL PEREMPUAN BERKALUNG SORBAN KARYA ABIDAH EL KHALIEQY DAN NOVEL MENITI JEMBATAN EMAS KARYA YAN DARYONO

Untuk memenuhi tugas SBSI  
Dosen Pembimbing Dr. Gatot Sarmidi






  



FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
UNIVERSITAS KANJURUHAN
MALANG
2011





 
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Novel merupakan sebuah karya sastra yang tidak dapat dibaca selesai dalam sekali duduk, karena panjangnya sebuah novel secara khusus cukup untuk mempermasalahkan karakter, peranan sosial tokoh dan pandangan hidup tokoh dalam perjalanan waktu. Jadi, dalam perjalanan panjang inilah yang dapat menggambarkan perjuangan seorang tokoh dalam menghadapi kehidupannya yang penyajiannya secara panjang lebar. Oleh karena itu tidak mengherankan jika posisi menusia dalam masyarakat menjadi pokok permasalahan yang selalu menarik perhatian para novelis.
Sastra bendingan adalah studi sastra bandingan secara totalitas, karena sastra bandingan identik dengan sastra dunia, sastra umum atau sastra universal. Pengkajian sastra bandingan pada dasarnya tidak harus terpaku pada karya-karya klasik dari sastrawan yang terkenal, karena dalam kajian sastra bandingan tidak jauh berbeda dengan kegiatan mengapresiasi suatu karya sastra.
Dari sekian banyak negara di dunia yang memiliki karya sastra novel dengan motif yang hampir sama baik dalam negara maupun dengan negara lain. Sebuah novel dapat memiliki kemiripan antar novel yang lainnya, baik dalam unsur intrinsik maupun unsur ekstrinsiknya. Namun, dalam karya sastra tersebut selain terdapat kesamaan tentunya terdapat perbedaan di dalamnya. Kajian ini lebih menitik beratkan pada kajian dalam satu negera, namun karya sastra yang digunakan dapat dilihat dari kurun waktu yang berbeda.
Contoh kajian kekerasan dalam novel Nayla karya Djenar Maesa Ayu dan Sybil karya Flora Rheta Schreiber yang membandingkan kekerasan yang dilakukan oleh ibunya dengan motif yang berbeda. Dalam novel yang berjudul Nayla karya Djenar Maesa Ayu, berbicara mengenai sosok ibu yang keras, kasar, dan kejam, yang mewujud pada penyisaan fisik dan mental Nayla. Sedangkan, dalam novel yang berjudul Sybil karya Flora Rheta Schreiber, berbicara menganai sosok ibu yang egois dan melakukan kekerasan mental terhadap anaknya mulai dari kecil, yang hingga akhirnya menyebabkan kelainan jiwa/psikologis anaknya, Sybil. Sosok ibu dalam kedua novel tersebut sangat berperan terhadap pembentukan watak dan prilaku menyimpang anak.
Melalui kajian bandingan ini, penulis akan mengkaji persamaan dan perbedaan feminisme dalam dua novel. Pengkajian ini dilakukan pada novel “Perempuan Berkalung Sorban” karya Abidah El Khalieqy dan novel “Meniti Jembatan Emas” karya Yan Daryono. Perbandingan antar novel Perempuan Berkalung Sorban karya Abidah El Khalieqy dan novel Meniti Jembatan Emas karya Yan Daryono ini dapat dilihat dan dipahami dengan mudah oleh pembaca.

1.2 Rumusan Masalah
Bila ditinjau dari judul di atas maka analisis ini lebih difokuskan pada masalah berikut:
1.        Bagaimana feminisme yang terdapat dalam novel “Perempuan Berkalung Sorban” karya Abidah El Khalieqy?
2.        Bagaimana feminisme yang terdapat dalam novel “Meniti Jembatan Emas” karya Yan Daryono?
3.        Bagaimana persamaan dan perbedaan feminisme yang terdapat dalam novel “Perempuan Berkalung Sorban” karya Abidah El Khalieqy dan novel “Meniti Jembatan Emas” karya Yan Daryono?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini, yaitu peneliti ingin deskripsikan:
1.        Feminisme yang terdapat dalam novel “Perempuan Berkalung Sorban” karya Abidah El Khalieqy.
2.        Feminisme yang terdapat dalam novel “Meniti Jembatan Emas” karya Yan Daryono.
3.        Persamaan dan perbedaan feminisme yang terdapat dalam novel “Perempuan Berkalung Sorban” karya Abidah El Khalieqy dan novel “Meniti Jembatan Emas” karya Yan Daryono.
 1.4 Metodologi Penelitian
1.4.1 Metode Penelitian
Penelitian perbandingan ini menggunakan metode deskriptif  kualitatif. Sejalan dengan tujuan penelitian yang hendak dicapai yakni: Untuk mendeskripsikan persamaan dan perbedaan yang diungkap dalam novel “Perempuan Berkalung Sorban” karya Abidah El Khalieqy dan novel “Meniti Jembatan Emas” karya Yan Daryono dengan metode deskriptif kualitatif dimaksudkan untuk memberikan gambaran (deskriptif) yang sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta yang ada.
Penggunaan metode ini didasari pada beberapa alasan, antara lain: (1) feminisme liberal, (2) feminisme radikal. Setelah diketahui feminisme dari kedua novel tersebut, kita akan membandingkan dan mencari persamaan dan perbedaan dari kedua feminisme tersebut.
1.4.2 Objek Penelitian
Objek yang digunakan pada penelitian sastra ini adalah novel Perempuan Berkalung Sorban karya Abidah El Kahlieqy dan novel Meniti Jembatan Emas karya Yan Daryono.
1.4.3 Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1.        Membaaca teks novel “Perempuan Berkalung Sorban” karya Abidah El Khalieqy secara keseluruhan, mencatat bagian feminisme yang sesuai dengan masalah;
2.        Membaaca teks novel “Meniti Jembatan Emas” karya Yan Daryono secara keseluruhan, mencatat bagian feminisme yang sesuai dengan masalah.


BAB II
KAJIAN TEORI
2.1  Pengertian Feminisme
Kata feminisme dikreasikan pertama kali oleh aktivis sosialis utopia, Charles Fourier pada tahun 1837. Pergerakan center Eropa ini berpindah ke Amerika dan berkembang pasat sejak publikasi John Stuart Mill, the subjection of women (1869). Perjuangan mereka menandai feminisme Gelombang Pertama. Feminisme adalah gerakan wanita yang menuntut persamaan hak dan sederajat dengan pria.
2.2  Feminisme Liberal
Feminisme liberal ialah pandangan untuk menempatkan perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan individual. Aliran ini menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan antar dunia privat dan publik. Dengan demikian, setiap manusia memiliki kapasitas untuk berpikir dan bertindak secara rasional, begitu pula pada perempuan. Akar ketertindasan dan keterbelakangan pada perempuan itu sendiri. Perempuan harus mempersiapkan diri agar mereka bisa bersaing di dunia dalam kerangka “persaingan bebas” dan punya kedudukan sama dengan laki-laki.
            Tokoh aliran ini adalah Naom Wolf, sebagai “Feminisme Kekuatan” yang merupakan solusi. Kini perempuan telah mempunyai kekuatan dari segi pendidikan, pendapatan, dan perempuan harus terus menuntut persamaan haknya serta saatnya kini perempuan bebas berkehendak tanpa tergantung pada lelaki.
            Feminisme liberal mengusahakan untuk menyadarkan wanita bahwa mereka adalah golongan tertindas. Pekerjaan yang dilakukan perempuan di sektor domestik dikampanyekan sebagai hal yang tidak produktif dan menempatkan perempuan pada posisi subordinat. Budaya Amerika yang materealistis, mengukur segala sesuatu dari materi, dan individualis sangat mendukung keberhasilah feminisme. Perempuan-perempuan tergiring ke luar rumah untuk berkarier dengan bebas dan tidak bergantung kepada laki-laki.
            Akar teori ini bertumpu pada kebebasan dan kesetaraan rasionalitas. Perempuan adalah makluk rasional, kemampuannya sama dengan laki-laki, sehingga sehingga harus diberi hak yang sama juga dengan laki-laki. Permasalahannya terletak pada produk kebijakan negara yang bias gender. Oleh karena itu pada abad 18 sering muncul tuntutan agar perempuan mendapatkan pendidikan yang sama, di abad 19 banyak upaya memperjuangkan kesempatan hak sipil dan ekonomi bagi perempuan, dan di abad 20 organisasi-organisasi perempuan mulia dibentuk untuk menentang diskriminasi seksual di bidang politik, sosial, ekonomi maupun personal.
2.3  Feminisme Radikal
Aliran ini muncul sejak pertengahan tahun 1970-an dimana aliran ini menawarkan ideologi “perjuangan saparatisme perempuan”. Pada sejarannya aliran ini muncul sebagai reaksi atas  kultur seksisme atau dominasi sosial berdasarkan jenis kelamin di barat pada tahun 1960-an, utamanya melawan kekerasan seksual dan industri pornografi. Pemahaman penindasan laki-laki terhadap perempuan adalah fakta dalam sistem masyarakat yang sekarang ada dan gerakan ini sesuai namanya yang “radikal”.
Aliran ini bertumpu pada pandangan bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi akibat patriarki, tubuh perempuan merupakan objek utama penindasan oleh kekuasaan laki-laki. Oleh karena itu, feminisme radikal mempermasalahkan antara lain tubuh dan hak-hak reproduksi, seksualitas (termasuk lesbianisme). Seksisme relasi kuasa perempuan dan laki-laki, dan dikatomi privat-publik “the persona is pocitical” menjadi gagasan baru yang mampu menjangkau permasalahan perempuan sampai ke ranah privat masalah yang dianggap paling tahu untuk diangkat kepermukaan. Pandangan buruk banyak ditujukan kepada feminisme radikal persoalan-persoalan privat inilah yang melahirkan Undang-Undang RI No. 23 tentang penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UUD KDRT).

BAB III
PEMBAHASAN
Berdasarkan ulasan pada latar belakang dan teori-teori, penelitian ini akan mengkaji persamaan dan perbedaan feminisme yang terdapat dalam novel Perempuan Berkalung Sorban dan novel Meniti Jembatan Emas yang diperjuangkan oleh tokoh Annisa dan Uwi (Dewi Sartika). Melalui analisis ini, maka peneliti mencoba untuk mengungkapkan feminisme yang terdapat dalam kedua novel tersebut.
4.1 Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban
Novel Perempuan Berkalung Sorban menceritakan tentang perjuangan seorang perempuan untuk mensejajarkan perempuan dengan laki-laki dalam kehidupan sosialnya yang berada dalam masyrakat pesantren. Perjuangan ini dilakukan karena derajat perempuan dianggap lebih rendah dari pada laki-laki. Melalui tokoh Anisa, ia memperjuangkan hak perempuan dengan melawan keluarga dan kalangan pesantern dengan melakukan protes-protes terhadap keluarga dan tokoh ulama mengenai hak-hak perempuan. Selain itu perjuangan yang dilakukan oleh tokoh Annisa, yaitu pembelaan terhadap pemilikan tubuh dan hak-hak reproduksi perempuan merupakan tumpuan eksplorasinya. Sisi kehidupan Annisa yang mengalami kekerasan dalam kehidupan rumah tangganya. Lewat novel ini pengarang ingin berpesan kepada kaumnya melalui tokoh Annisa, “tubuhmu adalah milikmu, tak seorangpun yang boleh menguasainya, juga lelaki pasangan hidupmu”.
Feminisme liberal yang terdapat dalam novel Perempuan Berkalung Sorban yang menimpa Annisa yang berhubungan dengan kesejajaran seorang perempuan dengan laki-laki dalam hal pendidikan mendapat larangan dari keluarganya. Kemudian perlakuan yang tidak adil dalam keluarga juga dirasakan oleh tokoh Annisa. Larangan yang menimpa Annisa ini yang membuatnya menjadi begejolak karena antara pandangan keluarga dan pandangan Annisa sendiri berbeda. Pandangan yang didapatkan oleh Aninsa didapatkan dari luar lingkungan pesantren dimana ia tinggal. Feminisme liberal yang menimpa tokoh Annisa dapat dilihat dalam cuplikan novel berikut:
“Ow. . . ow. . .ow. . . jadi begitu. Apa ibu belum mengatakan padamu kalau naik kuda hanya pantas dipelajari oleh kakakmu Rizal, atau kakakmu Wildan. Kau tahu, mengapa? Sebab kau ini anak perempuan, Nisa. Nggak pantas, anak perempuan kok naik kuda, pencilakan, apalagi keluyuran mengelilingi ladang, sampai ke blumbang segala. Memalukan!” (Abidah, 2009 : 7)
“Eh, Nisa. Orang pemalas itu tidak perlu dicemburui. Lagi pula Nisa kan perempuan. Perempuan itu memiliki kewajiban untuk belajar mengurusi rumah tangga. Itu semua baik untuk masa depan, Nisa.” (Abidah, 2009 : 21)
“Tetapi anak perempuan kan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi. Sudah cukup jika telah mengaji dan khatam. Sudah ikut sorogan kuning.” (Abidah, 2009 : 90)
Kutipan novel di atas menunjukkan feminisme liberal yang menimpa Annisa dengan mendapatkan perlakuan dari keluarga yang tidak sama karena Annisa seorang perempuan sehingga dibedakan dengan kakak-kakaknya yang laki-laki. Hal itu terjadi karena keluarga tokoh Annisa mempunyai panadangan tentang perempuan dari sudut kaidah-kaidah islam yang mengatakan bahwa derajat seorang perempuan di bawah laki-laki. Selain itu, perlakuan dalam mendapatkan hak pendidikan juga dibatasi oleh keluarga.
Feminisme radikal yang menimpa Annisa tidak dapat dilakukan begitu saja. Hak-hak keadilah rumah tangga yang berkaitan dengan poligami yang dilakukan Samsuddin malah memberikan dampak kesengsaraan bagi Annisa. Orang yang berpoligami harus mendapatkan keadilan antara istri yang satu dengan istri yang lainya. Dalam hal ini sedikitpun Annisa tidak mendapatkan keadilan tersebut, melainkan mendapatkan kesengsaraan lahir dan batin.
Feminisme radikal yang ditonjolkan dalam novel Perempuan Berkalung Sorban ini menimpa tokoh utama Annisa yang tidak mampu melawan penindasan yang berkenaan dengan tubuh dalam seksualitas. Feminisme radikal yang menimpa tokoh Annisa dapat dilihat dalam cuplikan novel berikut:
“Dalam keadaan seperti itu, kelelakian Samsudin semakin menjadi, lalu menggigit bahu dan leherku seperti layaknya drakula. Bahkan ia juga memilih sesukanya bagian-bagian mana dari tubuhku untuk dicengkeram. Dicakar-cakar semaunya, seakan aku ini kambing kurban yang sedang berada ditangan seorang penjagal.” (Abidah, 2009 : 102)
“Ia mencabut gigi taringnya dari tubuhku, seperti harimau lapar tengah berhadapan dengan mangsanya. Lalu menggeram untuk kemudian menekan kuat-kuat wajahku di atas bantal sambil mengeluarkan sumpah serapan tujuh turunan dan kata-kata makian yang diambil dari kamus kebun binatang. Setelah menampar, mencekik dan menjambak rambutku dengan penuh kebiadapan, setelah melihat tenagaku lemas dan berdaya.” (Abidah, 2009 : 103)
“Setelah aku pikir-pikir, bicara juga aku kepada Samsudin. Agar ia membagi uang belanja secara adil sebagaimana sunnahnya berpoligami. Ia bilang akan menunjukkan keadilan pada suatu saat.” (Abidah, 2009 : 118)
“Dan inilah saatnya. Aku baru pulang dari sekolah ketika kudapati dua makhluk berlainan jenis itu sedang bergumal di atas karpet warna merah tua.” (Abidah, 2009 : 118)
“Lihatlah, Annisa, bagaimana caranya main di taman sorga. Lihatlah kami! Dan kau boleh bergabung jika mau.” (Abidah, 2009 : 118)
            Kutipan di atas jelas bagaiman penderitaan tokoh utama Annisa dalam menghadapi kemelud rumah tangganya yang didatangkan oleh suaminya. Kesengsaraan yang dideritanya bukan hanya fisik tetapi juga batinnya.
“Seorang laki-laki memiliki kewajiban dan seorang perempuan juga memilki kewajiban. Kewajiban seorang laki-laki, yang terutama adalah bekerja mencari nafkah, baik di kantor, di sawah, di laut, atau dimana saja asalkan mendatangkan rezeki yang halal. Sedangkan seorang perempuan juga memiliki kewajiban, yang terutama adalah mengurus urusan rumah tangga dan mendidik anak. Jadi memasak, mencuci, mengepel, menyetrika, menyapu dan merapikan seluruh rumah adalah kewajiban seorang perempuan. Demikian juga memandikan anak, menyuapi, menggantikan popok dan menyusui itu juga kewajiban seorang perempuan.” (Abidah, 2009 : 12)
Kutipan novel di atas merupakan feminisme yang menggambarkan pembagian kerja dan interaksi sosial sehari-hari. Agenda tersembunyi dari sistem sosial itu adalah memberi kekuasaan laki-laki melebihi perempuan. Penggambaran ini merupakan feminisme radikal yang memperjuangkan hak perempuan agar tidak hanya sebagai ibu rumah tangga yang hanya mengurus anak dan membersihkan rumah sehingga dianggap pekerjaan perempuan dipandang sebagai pekerjaan tidak terampil yang hanya membutuhkan tubuh, bukan pikiran rasional.
4.2 Feminisme Dalam Novel Meniti Jembatan Emas
Novel Meniti Jembatan Emas menceritakan tentang perjuangan seorang perempuan dalam mendapatkan haknya dalam memperoleh pendidikan pada zaman penjajahan Belanda. Perjuangan yang dilakukan oleh Uwi untuk mensejajarkan haknya dalam memperoleh pendidikan, mendapatkan berbagai rintangan yang harus dilaluinya pada masa penjajahan tersebut. Perjuangan yang dilakukan oleh Uwi dengan membuka sekolah untuk perempuan sehingga perempuan bisa percaya diri dan tidak direndahkan oleh laki-laki dan melelui pendidikan perempuan tidak tergantung lagi dengan laki-laki. Perjuangan memperoleh hak pendidikan, hak berperan membentuk kepribadian dan kemandirian bangsanya serta hak-hak lainnya yang sesuai azas kemanusian yang diperjuang tokoh Uwi dalam Novel ini. Banyak halangan yang harus dilalui Uwi dalam memperoleh pendidikan ksususnya untuk kaum perempuan ini, antara lain larangan dari kaum bumi putera sendiri yang merasa dari maum menak yang takut disejajarkan dengan kaum buruh, dan dari para pejabat pemerintah yang memnjajah kaum bumi putera yang takut mempengaruhi kaum jajahannya untuk melawannya.
Feminisme liberal yang ditonjolkan dalam novel Meniti Jembatan Emas lebih mengarah pada perjuangan seorang perempuan dalam memperluas kesempatan dalam pendidikan agar derajat perempuan tidak tertindas. Perjuangan tersebut dapat dilihat melalui kutipan berikut:
“Uwi melihat pejabat bumi putera baru keluar dari beranda rumah diiringi jongos pembawa payung bertangkai panjang yang meneduhi pejabat itu. Tak jauh di belakang, muncul pula istri sang pejabat bumi putera berjalan mengikuti suaminya diiring beberapa abdi dalem perempuan. Melihat pemandangan itu Uwi menjadi muram dan menarik nafas panjang. Ah, alangkah lemahnya kedudukan perempuan dalam kehidupan masyarakat bumi putera. Tidak boleh berjalan seiring suami dan harus berada di belakang” (Yan Daryono, 2008 : 21)
“Dan perlu tuan Inspektur ketahui, bagi orang Sunda, menyekolahkan anak perempuannya sama artinya melakukan perbuatan tabu.” (Yan Daryono, 2008 : 39)
“Mestinya kalian tau, Uwi menyelenggarkan sekolah itu karena rasa cinta kepada bangsanya. Ia merasakan betapa rendahnya derajat perempuan bumi putera diperlakukan kaum pria yang menyebut dirinya sebagai kaum terhormat.” (Yan Daryono, 2008 : 70)
Kutipan novel di atas merupakan feminisme liberal yang sedang dihadapi masyarakat bumi putera pada masa penjajahan Balanda. Kutipan tersebut tergambar jelas bagaimana rendahnya derajat perempuan dihadapan laki-laki. Melihat kenyataan tersebut Uwi melakukan perjuangan untuk kaum perempuan dengan membuka sebuah sekolah dengan nama Sakola Keutamaan Istri dengan siswa hanya para perempaun bumi putera. Dengan membuka sekolah itu Uwi bertujuan agar banyak perempuan bumi putera yang prigel yang bisa baca tulis dan berhitung. Para perempuan yang memilki rasa percaya diri, menyadari kehormatan dan harga dirinya sebagai perempuan bumi putera. Kaum perempuan yang tidak berjalan di belakang suaminya, tetapi justru melangkah berdampingan dengan suaminya. Dalam pendirian sekolah ini Uwi mengalami berbagai rintanga dari masyrakat menak yang tidak suka dengan sekolah Uwi alasan menak tidak suka karena mereka takut apabila sekolah Uwi berkembang maka antara kaum menak (bangsawan) akan disejajarkan dengan kaum bawahan (petani, nelayan dll). Selian rintangan dari para menak Uwi juga menghadapi masalah yang paling berat yaitu harus mengahadapi gubernemen, yaitu pemerintahan yang memerintah rakyat bumi putera (rakyat Indonesia).
Perjuangan yang dilakukan oleh Uwi berhasil dilakukan dengan mendapatkan hak-hap perempuan dalam pendidikan yang mendapatkan izin dari gubernemen walau sekolah yang dididrikan hanya untuk kaum perempuan. Kemudian Uwi juga berhasil mendapatkan izin dari gubernemen dengan membelajarkan bahasa Belanda dan bahasa Inggris di Sakola Kautamaan Istri yang dibilang jajahan Belanda. Dari hasil perjuangannya ini Dewi Sartika mendapatkan penghargaan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional dalam menentang kaum penjajah demi mendapatkan hak seorang perempuan.
4.3  Persamaan Dan Perbedaan Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban Dan Meniti Jembatan Emas

Tabel Korpus Data
Tabel 3:1 Persamaan Feminisme Liberal
Korpus Data
Novel Perempuan Berkalung Sorban
Novel Meniti Jembatan Emas
KD1
“Ow. . . ow. . .ow. . . jadi begitu. Apa ibu belum mengatakan padamu kalau naik kuda hanya pantas dipelajari oleh kakakmu Rizal, atau kakakmu Wildan. Kau tahu, mengapa? Sebab kau ini anak perempuan, Nisa. Nggak pantas, anak perempuan kok naik kuda, pencilakan, apalagi keluyuran mengelilingi ladang, sampai ke blumbang segala. Memalukan!” (Abidah, 2009 : 7)

“Uwi melihat pejabat bumi putera baru keluar dari beranda rumah diiringi jongos pembawa payung bertangkai panjang yang meneduhi pejabat itu. Tak jauh di belakang, muncul pula istri sang pejabat bumi putera berjalan mengikuti suaminya diiring beberapa abdi dalem perempuan. Melihat pemandangan itu Uwi menjadi muram dan menarik nafas panjang. Ah, alangkah lemahnya kedudukan perempuan dalam kehidupan masyarakat bumi putera. Tidak boleh berjalan seiring suami dan harus berada di belakang” (Yan Daryono, 2008 : 21)

KD2
“Eh, Nisa. Orang pemalas itu tidak perlu dicemburui. Lagi pula Nisa kan perempuan. Perempuan itu memiliki kewajiban untuk belajar mengurusi rumah tangga. Itu semua baik untuk masa depan, Nisa.” (Abidah, 2009 : 21)
“Dan perlu tuan Inspektur ketahui, bagi orang Sunda, menyekolahkan anak perempuannya sama artinya melakukan perbuatan tabu.” (Yan Daryono, 2008 : 39)

KD3
“Tetapi anak perempuan kan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi. Sudah cukup jika telah mengaji dan khatam. Sudah ikut sorogan kuning.” (Abidah, 2009 : 90)

“Mestinya kalian tau, Uwi menyelenggarkan sekolah itu karena rasa cinta kepada bangsanya. Ia merasakan betapa rendahnya derajat perempuan bumi putera diperlakukan kaum pria yang menyebut dirinya sebagai kaum terhormat.” (Yan Daryono, 2008 : 70)


Tabel 3:2 Perbedaan Feminisme Radikal
Korpus Data
Novel Perempuan Berkalung Sorban
Novel Meniti Jembatan Emas
KD1
“Dalam keadaan seperti itu, kelelakian Samsudin semakin menjadi, lalu menggigit bahu dan leherku seperti layaknya drakula. Bahkan ia juga memilih sesukanya bagian-bagian mana dari tubuhku untuk dicengkeram. Dicakar-cakar semaunya, seakan aku ini kambing kurban yang sedang berada ditangan seorang penjagal.” (Abidah, 2009 : 102)

Tidak ada
KD2
“Ia mencabut gigi taringnya dari tubuhku, seperti harimau lapar tengah berhadapan dengan mangsanya. Lalu menggeram untuk kemudian menekan kuat-kuat wajahku di atas bantal sambil mengeluarkan sumpah serapan tujuh turunan dan kata-kata makian yang diambil dari kamus kebun binatang. Setelah menampar, mencekik dan menjambak rambutku dengan penuh kebiadapan, setelah melihat tenagaku lemas dan berdaya.” (Abidah, 2009 : 103)

Tidak ada
KD3
“Setelah aku pikir-pikir, bicara juga aku kepada Samsudin. Agar ia membagi uang belanja secara adil sebagaimana sunnahnya berpoligami. Ia bilang akan menunjukkan keadilan pada suatu saat.” (Abidah, 2009 : 118)

Tidak ada
KD4
“Dan inilah saatnya. Aku baru pulang dari sekolah ketika kudapati dua makhluk berlainan jenis itu sedang bergumal di atas karpet warna merah tua.” Lihatlah, Annisa, bagaimana caranya main di taman sorga. Lihatlah kami! Dan kau boleh bergabung jika mau.” (Abidah, 2009 : 118)

Tidak ada
KD5
“Plak! Plaakk!!
Ia menampar mukaku bertubi-tubi hingga pipi dan pundakku lebam kebiru-biruan. Untuk kali pertama, kucakar wajahnya dan ia membanting badanku ke lantai.” (Abidah, 2009 : 131)
Tidak ada



BAB IV
PENUTUP
5.1 Simpulan
            Setelah melakukan analisis pada kedua novel Perempuan Berkalung Sorban dan Meniti Jembatan Ema, maka dapat disimpulkan bahwa dalam novel Perempuan Berkalung Sorban, memiliki persamaan dan perbedaan dalam feminisme dalam novel tersebut. Persamaan feminisme pada kedua novel tersebut, yaitu sama-sama membahas masalah perjuangan yang dilakukan tokoh perempuan (Annisa dan Uwi) dalam memperjuangkan hak persamaan derajat dengan laki-laki. Persamaan dalam keduan novel tersebut dapat dilihat dari perjuangan kedua tokoh perempuan ini dalam memperoleh haknya dalam mendapatkan pendidikan yang termasuk ke dalam feminisme liberal. Perbedaan yang dapat disimpulkan dari hasil analis ini, yaitu dalam novel Perempuan Berkalung Sorban lebih ditonjolakan mengenai feminisme radikal dengan melakukan penindasan pada tubuh perempaun sebagai objeknya. Sedangkan pada novel Meniti Jembatan Emas hanya menceritakan masalah perjuangan seorang perempuan dalam memperoleh hak pendidikan yang hanya membahas masalah feminisme liberal saja.
5.2 Saran
Sesuai dengan pemaparan di atas penelitian ini lebih memfokuskan pada feminisme, yaitu feminisme liberal dan radikal. Pembahasan yang telah dilakuakan oleh peneliti mungkin masih dianggap kurang sempurna sehingga peneliti mengharapkan saran dan kritik yang dapat membangun sehingga lebih baik. Bagi peneliti selanjutnya peneliti mengharapkan agar melakukan penelitian mengenai feminisme yang belum dibahas dalam penelitian ini, sehingga pembahasan mengenai feminisme lebih lengkap pada kedua novel ini. Bagi instansi sekolah semoga hasil peneliatian ini dapat dijadiakan acuan dalam pembelajaran dalam bidang sastra khususnya dalam sastra bandingan.


Daftar Pustaka
Daryono, Yan. 2008. Meniti Jembatan Emas. Bandung: PT Grafitri Budi Utami.
El Khalieqy, Abidah. 2009. Perempuan Berkalung Sorban. Yogyakarta: Arti Bumi Intara.
Evi Kartika, Wulandari. 2008. Skripsi Citraan Perempuan Dalam Novel Perempuan Kembang Jepun Karya Lan Fang. Universitas Kanjuruhan Malang.
http://sulhamudin.info/2006/01/berkenalan-dengan-post-strukturalisme-dan-post-modernisme/
Saraswati, Ekarini. 2003. Sosiologi Sastra Sebuah Pemahaman Awal. Malang: Bayu Media dan UMM Press.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar